everything begining from here

everything begining from here

Sabtu, 09 Juli 2011

Weekend di La Galigo Museum



Sering kami membicarakan tentang semua hal-hal yang kami sukai, mulai dari rumah dengan model jaman Belanda, jenis musik jazz sampai tempat liburan favorit kami sama “museum” dan weekend besok dia ingin saya menemaninya sabtu besok untuk mengunjungi museum La Galigo yang berada didalam wilayah For Roterdam, sayapun menyetujuinya “kebetulan sabtu nanti saya lagi nganggur.”
“seumur-umur  tinggal di Makassar, saya belum pernah loh yan ke Museum La galigo itu, kalau masuk ke Fort Rotterdamnya sesekali pernahlah”  katanya saat perjalanan pulang dari kantor. Sesekali dia biasanya menyempatkan waktu untuk menjemputku di kantor agar kami bisa makan malam bersama dan menikmati obrolan yang seakan tidak pernah habis, apa saja kami bahas, bahkan sampai cerita misitispun seakan menarik kami kupas habis. Pertama dia tertarik pada museum la galigo saat  saya mengatakan saya pernah kesana dan koleksinya lumayan beragam tidak terpatok dengan satu tema seperti museum pada umumnya.
Di museum itu memang koleksinya tidaklah terlalu banyak disbanding museum-museum besar lainnya, tapi karena tema koleksi yang dipamerkan beragam yang membuat orang jadi tidak bosan. Mulai dari ruang masuk kita langsung disambut dengan ruang yang memamerkan bahan material dari bangunan benteng Rotterdam dan informasi yang lengkap tentang berdirinya Fort Rotterdam. Masuk di ruangan selanjutnya adalah koleksi arkeologi, menampilkan gambaran secara umum tentang peradaban manusia pada jaman purbakala. Masuk kedalam ruangan tengah adalah koleksi dari jaman peradaban Hindu-Budha dan koleksi-koleksinya seperti candi dan beberapa peralatan rumah tangga yang digunakan pada masa itu. Selanjutnya adalah ruangan yang didalamnya adalah koleksi uang dari masa ke masa. Ada uang yang masih berbentuk kain, jenis uang tang, uang ma, mata uang saat jaman kedudukan Jepang, Belanda, dan saat pertama kali Indonesia mencetak mata uangnya di Bank Indonesia. Di lantai dua adalah koleksi raja-raja Gowa, Bone dan Luwu, mulai dari tempat tidur, jenis tulis lontara, peralatan perang, alat-alat rumah tangga sampai papan yang bertuliskan silsilah keluarga kerajaan.  Di arah pintu keluar museum adalah koleksi keramik dari beberapa Negara yang pernah berkuasa di Indonesia dan juga dari Negara tetangga. Mulai dari Jepang, Belanda, Vietnam, Thailand, dan Cina. Dan terakhir adalah koleksi senjata dari berbagai daerah diseluruh nusantara (hanya mewakili beberapa daerah saja), ada parang, badik, golok, sampai keris.
Dia menjemput saya di rumah tepat pukul sembilan sesuai dengan waktu janjian kami kemarin. Tampak wajahnya yang sangat ceria dan bersemangat sekali, tidak sabar ingin sampai museum itu. “tadi pagi sebelum ketempat yan, saya dari pantai dengan seorang teman. Pulagnya saya mampir ke Rotterdam yan mau Tanya-tanya kapan bukanya museum di dalam. Ternyata pagi-pagi itu sudah buka, tau begitu kita kan bisa pagi-pagi kesananya yan. Hehehe” wah semangat juga dia sampai menanyakan jadwal bukanya pada bapak yang biasa menjaga pintu gerbang masuk ke benteng.
Sampai disana kita berkeliling, tapi sayangnya ada sedikit kekecewaan, karena ada beberapa koleksi di lantai dua yang sudah tidak terpajang lagi, mungkin sedang dalam masa perawatan atau apalah namanya. Tapi tidak menyurutkan semangat kami berdua. Obrolan pun terus mengalir diselingi candaan-candaan. Sewaktu kita memasuki ruang arkeologi tepatnya di koleksi batu nisan pada jaman purbakala dia berkata “yan, ini nisan ga ada hantunya kann?” sambil melirikku “hahaha…mana saya tau, saya kan bukan orang yang bisa menerawang kakak” masih sambil tertawa kutinggalkan dia menuju ke sudut ruangan dekat pintu yang memajang kayu dengan ukuran besar yang dulunya berfungsi sebagai peralatan mayat. Dan dia menyusulku dari belakang “yan, ini kayu kalau kena air akan semakin kuat bukan?! Seperti material yang dipakai untuk membuat dermaga pada jaman dulu itu…” saya menimpali lagi dengan usil “untuk ini saya juga tidak tau apa-apa kakak, saya belum pernah kerja sebagai tukang kayu soalnya…hahaha” dengan kesal dia berkata “yeeee dasar, bilang aja emang nggak tau apa-apa…” sedikit sewot tapi langsung tertawa setelahnya. Kami semakin asik melihat detail demi detail dari koleksi yang ada, udara panas yang mengitari seluruh ruangan tidak kami perdulikan lagi. Sangat sayang memang ruangan yang selalu padat oleh pengunjung ini tidak dilengkapi dengan kipas angin. Jadinya pengunjung yang datang pasti kepanasan.
Kami paling tertarik pada koleksi pada masa kerajaan Gowa, Bone dan Luwu. Kursi, meja rias dan beberapa perabot dari kayu dengan ukiran yang indah sangat mengundan perhatian. Sampai dia semakin terinspirasi untuk mengisi rumah masa depannya dengan perabot yang terbuat dari kayu-kayu dengan ukiran. Ini juga adalah salah satu kesamaan kami.
Beberapa saat sebelum kami sampai di Benteng Rotterdam tepatnya di jalan perintis kemerdekaan dia melihat dipinggir jalan ada yang menjual kursi-kursi dari bambu yang dipoles dengan cat berwarna coklat tua, unik dan sederhana. Ukurannya minimalis, cocok jika ditaruh dalam ruangan yang tidak terlalu besar. Kami turun dari mobil dan menanyakan harga kursi itu untuk satu setnya. “1,5 juta pak..” jawab bapak yang menjual kursi bambu. 10 menit kami tanya-tanya tentang jualan bapak itu dan dia sudah menyimpan nomor handphone bapak penjual itu. Kamipun kembali melanjutkan perjalanan. “bagusnya aku taruh diruang tamu yan, kira-kira harga segitu mahal nggak yan?”
“hemm, minta saja harga segitu berikut dengan ongkos kirimnya kakak, jadi tidak perlu mengeluarkan duit untuk ongkos kirimnya”  sambil tersenyum kecil saya melihat dia yang salalu bersemangat menceritakan rumah masa depannya.
“iya deh, atau bagusnya saya tanya ke nyokap saya dulu kali yah?” (dasar anak mami…) sindirku dalam hati. Heheh.
“he’eemm…ide yang bagus juga. Mamanya kakak pasti lebih pengalaman beli perabotan dari pada kakak.” :D
Pukul 11.45 matahari sudah menunjukkan keperkasaannya, mataku mulai memicing karena teriknya, dia mengajakku makan siang sebelum mengantarkanku pulang kerumah. “kita makan diamana yah yan?” ini pertanyaan yang paling sering dia tanyakan kalau kami sedang jalan bersama. “saya ikut saja deh, kakak mau makan dimana” dan itu jawaban yang juga paling sering saya berikan kalau otak ini mulai malas berpikir mencari tempat makan. “mmm, kita makan ditempat yang rumahnya itu ber-design kuno gimana yan?” sambil melihatku dan menunggu jawabanku dan bersiap memutar arah “oh di mama resto  yah, bolehhh…sudah lama juga kita tidak pernah kesana kan..?!”
Sesampainya di mama resto dia menunjukkan tempat makan outdoor “yan kalau kita makannya diluar nggak apa-apa?” sambil menunjuk beberapa spot makan yang ditata rapi dengan pohon-pohon rindang disekelilingnya. Entah mengapa dia tiba-tiba ingin makan diluar ruangan, padahal jika ketempat ini kami pasti makan didalam ruangan. Seingat saya ini adalah spot favorit dia dan mamanya, setiap dia mengajak mamanya sarapan ditempat ini, mamanya pasti memilih tempat ini. “yan silahkan pilih mau duduk dimana, saya masuk dulu untuk memanggil pelayannya” saya pun mengambil tempat yang sama yang mamanya sering pilih.
“minggu depan kita ke Balla’ Lompoa yah kalau ada waktu. Yan kan belum pernah kesana, saya juga..hehehe. okeey yan sampai nanti..” diapun pamit pulang setelah mengantarkan saya pulang. Selama mengenalnya baru kali ini kami melakukan kegiatan baru yang selama ini hanya kami perbincangkan “tour museum” biasanya kami hanya berwisata kuliner atau nonton film, sepertinya ini akan menjadi satu agenda baru lagi untuk kami. :D

Tidak ada komentar: